Implikasi Hukum Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024 dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Implikasi Hukum Penundaan
Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024 dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Oleh: Nur Rizkiya Muhlas
Sejarah perjalanan
Indonesia tidak terlepas dari peristiwa akbar reformasi 1998 yang meruntuhkan
pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto. Peristiwa tersebut membuahkan
delapan tuntutan reformasi, salah satunya adalah melakukan desakralisasi
terhadap UUD NRI 1945 melalui amandemen konstitusi. Dalam rentan waktu
1999-2002 telah dilakukan empat kali amandemen konstitusi, yang bertujuan untuk
memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia termasuk sistem lembaga Negara.
Indonesia sebagai Negara yang menganut paham distribution of power (pemisahan kekuasaan), tentunya memerlukan
formulasi pembagian kekuasaan yang sesuai dengan checks and balances system (mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi), sehingga tidak ada lagi lembaga super power sebagaimana terjadi di era kepemimpinan Presiden
Soeharto yang menjadikan Presiden sebagai lembaga tertinggi Negara (executive heavy). Hal tersebut
berimplikasi pada sistem penyelenggaraan Negara yang otoriter.
Pasca amandemen
konstitusi, dihasilkan mahakarya luar biasa berupa pergeseran kedudukan
Presiden dari lembaga tertinggi Negara menjadi lembaga tinggi Negara yang
sejajar dengan lembaga negara lainnya serta pembatasan masa jabatan presiden.
Hal ini termaktub dalam rumusan pasal 7 UUD NRI 1945. [1]
Konsekuensi yuridisya TAP MPR No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Presiden
Seumur Hidup tidak lagi berlaku. Tafsir dari ketentuan pasal 7 UUD NRI 1945
adalah masa jabatan Presiden dan wakil Presiden maksimal 2 kali masa jabatan.
Sehingga, apabila terjadi peristiwa yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal
tersebut, maka sifatnya inkonstitusional. Hal ini dapat dikualifikasi sebagai
penodaan terhadap konstitusi sebagai grundnorm
dan hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan[2]
sekaligus bentuk manifestasi dari Pancasila dengan sistem supremasi konstitusi
dan demokrasi.
Tahun 2024 mendatang
Indonesia dihadapkan dengan kontestasi politik menyambut pesta demokrasi. Namun
hal ini kemudian menuai kontroversi publik dengan mencuatnya isu penundaan
pemilu dengan alasan pemulihan ekonomi post pandemic
Covid-19. Diskurus tersebut telah terdengar sebelum pandemic Covid-19 dengan tujuan memperpanjang masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden oleh beberapa tokoh politik nasional. Menanggapi hal
tersebut maka pada tulisan ini, penulis akan membahas dua hal utama: pertama,
bagaimana implikasi hukum penundaan pemilu tahun 2024 dalam perspektif
hukum tata negara?; kedua, apakah ada terobosan hukum untuk memperpanjang masa
jabatan Presiden dan wakil Presiden?
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) melalui penetapannya dalam SK KPU RI No. 21 tahun 2022[3]
menyatakan tanggal penyelenggaraan pemilu dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Artinya secara mutatis mutandis tidak
ada penundaan pemilu tahun 2024. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan
dilakukan penundaan, mengingat yang memegang peran penting dalam birokrasi
adalah pemilik otoritas elit politik, dan merupakan bentuk mekanisme sirkulasi
elit yang bersaing melalui partai politik
yang menjadi salah satu instrumen legitimasi.
Secara hitoris,
Indonesia pernah melakukan penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan
diterbitkannya Perppu No. 2 tahun 2020[4]
yang mana syarat terbitnya Perppu sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 22
ayat (1) UUD NRI 1945[5]
yakni adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan keadaan darurat. Apabila
dibenturkan dengan keadaan saat itu, Indonesia sedang mengalami Pandemic Covid-19, yang juga
mengakibatkan kondisi ekonomi mengalami defisit. Sehingga syarat-syarat
diterbikannya Perppu terpenuhi dan dapat dilakukan penundaan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah. Penulis mengkomparasikan dengan status quo yang terjadi saat ini, dari segi pertumbuhan ekonomi
merujuk pada data yang dirilis oleh BPS perekonomian Indonesia triwulan II-2021
terhadap triwuan II-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07% dan potensial naik
di tahun 2022[6],
dengan demikian hal ini tidak relevan jika penundaan pemilu dilakukan dengan
alasan stabilitas ekonomi. Di sisi lain Pilkada 2024 terselenggara di 270
daerah bahkan tingkat partisipasi rakyat mencapai 76,09% naik 7,03%
dibandingkan Pilkada sebelumnya.[7]
Sehingga penundaan Pemilu 2024 dengan alasan Pandemic Covid-19 tidak relevan.
Implikasi hukum dari
sudut pandang hukum tata negara apabila tetap dipaksakan untuk melakukan
penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 di antaranya sebagai berikut:
1.
Menciderai
Konstitusi dan Merefleksikan Tindakan Koruptif Masa Jabatan Kepresidenan
Secara
fundamental wacana penundaan Pemilu bersifat inkonstitusional, melecehkan
konstitusi (contempt of the
constitution), hal ini dikarenakan ketentuan pasal 7 jo pasal 22E UUD NRI 1945[8]
secara rigid dan tegas telah
memberikan pembatasan terhadap masa jabatan eksekutif dan legilatif yaitu 5
tahun dan dua kali masa jabatan serta Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun
sekali. Melakukan penundaan pemilu yang merupakan Conseptual core dan prasarat paling minimalis dari negara demokrasi
memerlukan extraordinary reasons,
misalnya dalam manuscript transisi
demokrasi terpimpin ke orba pernah dilakukan penundaan pemilu tahun 1967-1968
dengan alasan memperkuat beberapa element pemerintahan untuk stabilitas negara.
Hal ini juga
berdampak pada masa jabatan legislatif yang diproyeksikan membuka ruang semakin
besar untuk menjadikan negara demokrasi bercita rasa oligarki. Mengingat
kedudukan legislatif sebagai positive
legislature sehingga potensial membawa kepentingan oligarki masuk ke dalam
regulasi yang ada di program legislasi nasional (prolegnas).
2.
Inkonsistensi
Partai atas Keputusan Politik yang diproduk dan Menciptakan Preseden Buruk
dalam Sistem Ketatanegaraan
Menunjukan
adanya pragmatisme politik kepentingan partai, rendahnya komitmen partai untuk
menjaga dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana di amanatkan dalam
UU Parpol. Hal ini tentunya mengakibatkan kemunduran proses berdemokrasi di
Indonesia dan menghidupkan kembali nilai-nilai kepemimpinan yang otoritarian
juga mengkhianati amanat reformasi 1998.
Apabila wacana
penundaan tersebut kemudian diindahkan oleh penyelenggara negara maka dapat
menghasilkan preseden dan konvensi ketatanegaraan yang buruk.
Dalam hukum tata negara
melakukan amandemen konstitusi merupakan hal yang niscaya hal ini diakomodir
dalam ketentuan pasal 37 UUD NRI 1945 dan selaras dengan proposisi yang dinarasikan oleh Adnan Buyung Nasution
dalam disertasinya “Pemerintahan yang konstitusional bukan pemerintahan yang
sekadar sesuai dengan bunyi-bunyi pasal konstitusi melainkan juga sesuai dengan
esensi dari kontitusionalisme itu sendiri.”[9]
Artinya amandemen konstitusi dapat dilakukan untuk menjamin terimplementasinya
dengan baik esensi konstitusioalisme. Sehingga terdapat probabilitas untuk
melakukan perpanjangan jabatan eksekutif melalui amandemen konstitusi. Namun,
pertanyaan sederhana timbul “Apakah etis melakukan amandemen terhadap kontitusi
untuk memperpanjang jabatan Presiden?” Hal ini sekiranya merefleksikan “oknum”
yang haus jabatan untuk membawa kepentingan segelintir elit.
Jikaa dibenturkan
dengan ketentuan Presidential Threshold dalam
UU No. 7 tahun 2017 yang pada hakikatnya telah mengebiri hak politik warga
negara dalam hal ini hak untuk dipilih sebagai presiden karena adanya ambang
batas 25% yang harus dipenuhi, dan kemudian muncul wacana untuk memperpanjang
jabatan presiden, bukankah hal ini secara etika begitu tidak baik? Padahal
jamak dipahami bahwa hukum mengapung di atas samudera etika (law floats in the sea of ethics).
Berdasarkan uraian di
atas, penulis menyimpulkan bahwa pertama,implikasi hukum dari sudut
pandang hukum tata negara apabila tetap dipaksakan untuk melakukan penundaan
pelaksanaan Pemilu 2024 yaitu menciderai
konstitusi dan merefleksikan tindakan koruptif masa jabatan kepresidenan serta
inkonsistensi partai atas keputusan politik yang diproduk dan menciptakan
preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan; kedua, peluang yang
paling mumpuni untuk melakukan perpanjangan masa jabatan presiden adalah dengan
amandemen konstitusi UUD NRI 1945.
Menutup esai ini,
penulis mengutip proposisi Nurcholis Madjid sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif
dalam buku Negara Paripurna bahwa:
“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar.”[10]
[1] Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan.
[2] Lihat pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[3] SK KPU RI No. 21 tahun 2022
tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara
pada Pemilihan Umum Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD.
[4] Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
[5] Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
[6] Lihat data Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia oleh Badan Pusat Statistik tahun 2021
[7] Pers Rilis Indonesian Corruption watch(ICW) 2022
[8] Pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilik
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
[9] Adnan Buyung Nasution, 1995,
Apirasi Pemerintahan Kontitusional di Indonesia, studi sosio-legal atas Konstiuante
1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 16
[10] Yudi Latif, 2021, Negara Paripurna (Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), Jakarta: PT. Gramedia Putaka
Utama, hlm.32
Komentar