Tujuan Hukum: Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan
Tujuan Hukum:
Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan
Oleh: Nur
Rizkiya Muhlas
Segala sesuatu diciptakan tentunya memiliki tujuan
tersendiri, begitu juga dengan hukum. Terdapat berbagai teori yang dikemukan
oleh ilmuan hukum untuk memberikan penjelasan terkait dengan tujuan hukum namun
dewasa ini tujuan hukum yang paling banyak dikemukakan adalah kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Gustav Radbruch[1] yang menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwechmaerten), dan kepastian (rechtssicherkeit.) Tujuan tersebut berhubungan erat untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil
maupun dalam arti materil, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan
hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk
menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.[2] Dalam praktik penegakkan hukum ke tiga tujuan
tersebut harus diperhatikan secara proporsional. Akan tetapi ketiga tujuan
hukum tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis satu sama lain.
Dalam konteks tertentu keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan
kepastian, bahkan tuntutan kemanfaatan juga dapat bertabrakan dengan keadilan
dan kepastian hukum
.Sering
kali dalam implementasi tujuan tersebut justru terkesan saling bertentangan.
Dalam pemberlakuannya, para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, cenderung hanya menyandingkan fakta-fakta hukum terhadap
aturan-aturan yang berlaku demi mengedepankan kepastian hukum. Akibatnya,
sering kali tujuan untuk mewujudkan keadilan dalam arti yang sesungguhnya –keadilan
materil– menjadi terabaikan. Banyak kasus telah menunjukkan bahwa penegak hukum
sering kali terjebak dalam aturan-aturan hukum semata yang merupakan wujud dari
kepastian hukum. Penegakan hukum yang dijalankan dari sisi kepastian hukum
semata, menyebabkan dalam beberapa kasus letak keadilan dipertanyakan oleh
masyarakat.[3]
Sehingga merupakan sesuatu yang sulit untuk menentukan tujuan manakah yang
harus didahulukan dari ketiga tujuan hukum tersebut. Oleh karena itu, penulis
akan mencoba untuk membedah berbagai teori yang menjelaskan tujuan hukum.
Terkait pertanyaan tujuan hukum manakah yang harus
didahulukan, penulis menggunakan teori prioritas untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Teori ini dikemukakan oleh Gustav Radbruch, dimana yang
diprioritaskan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan dan yang terakhir adalah
kepastian hukum. Teori
ini sejalan dengan teori filsafat hukum yang juga mengagungkan keadilan, mulai
teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, selalu mempertahankan
keadilan sebagai mahkota hukum. Banyak teori mengenai keadilan dan masyarakat
yang adil, semua menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan. Keadilan harus
dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu
diperjuangkan oleh setiap manusia. Itulah keadilan yang seharusnya selalu
diperjuangkan. Maka demi tercapainya tujuan hukum yang menuntut kedamaian,
ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat, ssas prioritas
dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan pedoman.
Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar
belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan daripada manfaat dan
kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. Tetapi menjadi
catatan penerapan asas prioritas dapat dilakukan selama tidak mengganggu
ketenteraman dan kedamaian manusia selaku subjek hukum dalam masyarakat.[4]
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Achmad Ali yang menyatakan bahwa
ia sendiri setuju dengan asas prioritas tetapi tidak dengan menetapkan urutan
prioritas sebagaimana dikemukakan oleh Radbruch. Ia menganggap merupakan hal
yang lebih realistis jika kita menganut
asas prioritas yang
kasuistis. Yang ia
maksudkan adalah ketiga nilai
dasar hukum diprioritaskan
sesuai kasus yang dihadapi. Menurutnya jika asas prioritas kasuistis ini yang dianut
maka sistem hukum kita akan terhindar dari berbagai konflik yang tidak
terpecahkan.[5]
Pada
hakikatnya ketika kita berbicara tentang tujuan hukum hal itu tidak terlepas dari sifat hukum dari
masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena
pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang
sekaligus berfungsi sebagai cita hukum. Terdapat perbedaan-perbedaan pendapat
dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli
tersebut melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran
pemikiran yang dianut sehingga dengan hal itu lahirlah berbagai pendapat yang
tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianut.
[1]http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/621/3/T1_312007063_BAB%20II.pdf, diakses pada 1 Februari 2018
[2]Rasjuddin Dunge, Hubungan 3 Tujuan hukum: Kepastian Hukum,
Kemanfaatan, dan Keadilan, diakses pada http://rasjuddin.blogspot.co.id/2013/06/hubungan-3-tujuan-hukum-kepastian-hukum.html, tanggal 1 Februari 2018
[3]Muh. Ridha Hakim, Implementasi Rechvinding yang
Berkarakteristik Hukum Progresif, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5
Nomor 2, Juli 2016, hlm 228
[4]http://sharingaboutlawina.blogspot.co.id/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html, diakses pada 1 Februar 2018
[5]Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum menurut Gustav
Radbruch, diakses pada https://dokumen.tips/documents/tiga-nilai-dasar-hukum-menurut-gustav-radbruch.html, tanggal 1 Februari 2018
Komentar