Reaktualisasi Sila ke 2 Pancasila Guna Membunuh Gender Stereotyping untuk Menghidupkan Equal Justice melalui Pendekatan Feminist Legal Theory

Feminist Legal Theory is a broad movement that seeks to show how conventional legal theory, far from being gender-blind, ignores the position and perspective of women. Feminist write examine the inequalities to be found in the criminal law (especially in rape and domestic violence), family law, contract, tort, property, and others branches of the substantive law, including aspects of public law.- Martin Elizabeth A.[1]

Berangkat dari pendapat di atas, maka feminist legal theory adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum feminis, yaitu suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang memiliki keyakinan dan/atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya dan karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan. Pemikiran dan teori feminis[2] lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidakadilan sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan hukum untuk mendobrak gender stereotyping agar sila ke dua Pancasila membudaya dan mengakar dengan baik. Dalam hal ini salah satu kedudukan Pancasila adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum sehingga produk hukum yang diciptakan oleh legislatif harus sesuai dengan pancasila. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa hukum harus sesuai dengan jiwa bangsa (Volkgeist). Oleh karena   itu   pada   tulisan   kali   ini,   penulis   akan   membahas   dua    hal    utama,    yakni: Pertama, apakah  UUD  NRI  1945  melindungi  dan   menjamin   hak-hak perempuan? Kedua, bagaimana menghidupkan equal justice untuk membunuh budaya patriarki melalui pendekatan feminist legal theory ?


Pancasila   sebagai leitsar haruslah   dijadikan   sebagai    bintang    pengarah kehidupan. Founding fathers telah bersepakat bahwa sila kedua pancasila berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mana dalam konteks kali ini tidak dapat dipisahkan dari pendapat Yudi Latif sebagaimana dinarasikan dalam bukunya  Negara  Paripurna  bahwa sila kedua tersebut bermaknakan setiap warga negara Indonesia memiliki status, derajat, dan hak yang sama. Oleh karena itu pada sila kedua ini mencakup mengenai hak dan kewajiban warga negara seperti menjalankan hak-haknya serta berkewajiban untuk menghormati hak orang lain[3], termasuk hak-hak kaum perempuan. Hal ini kemudian terejawantahkan di dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Salah satunya adalah pasal 27 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan…"[4] tafsir frasa segala warga negara tidak merujuk pada gender tertentu melainkan berlaku universal sehingga dalam hal ini jelas merefleksikan bahwa dalam konstitusi Indonesia telah menjamin hak-hak baik itu hak laki-laki maupun perempuan. Pun apabila kita menelisik lebih jauh ketentuan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam konstitusi dari pasal 28A hingga 28 J frasa yang digunakan adalah "setiap orang" yang mana hal ini tidak memihak pada gender tertentu. Artinya adalah secara implisit konstitusi mengindahkan adanya paham feminisme. Terkait dengan paham feminisme ini dapat tarik relevansinya dengan paham utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham. Sebab paham utilitarinisme menginginkan adanya kesetaraan pengakuan atas hak asasi manusia. Sehingga yang menjadi diskursus hangat dewasa ini  adalah berkaitan dengan das sollen dan das sein yakni hukum dalam norma dan hukum dalam praktik dan juga ketentuan peraturan perundang- undangan yang tidak sejalan dengan konstitusi. Jantung yang perlu diselaraskan adalah ke dua hal tersebut. Menurut hemat penulis, das sollen (hukum dalam norma) mengakomodir paham-paham feminisme namun tidak dengan das sein  (hukum dalam praktik). Sehingga untuk menyelaraskan keduanya terkesan utopis namun bukan tidak mungkin. Apabila kita kaitkan dengan teori efektifitas hukum yang dikemukakan oleh  Lawrence  Friedman  terdapat  3  komponen  yang  terintegrasi   satu   sama   lain  yakni: substance,     structure,     dan     culture yang      mana      dalam      konteks      kali  ini culture dan structure lah yang harus diharmoniskan melalui reaktualisasi sila ke 2 Pancasila agar dapat mengoptimalkan equal justice utamanya bagi kaum-kaum perempuan. Inipun sesuai dengan tujuan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dari ketiga tujuan tersebut yang menjadi tujuan utama adalah tercapainya keadilan, yang mana keadilan akan tercapai apabila kepastian hukum dan kemanfaatan telah terakomodir. Faktanya sampai saat ini, masih terdapat pertentangan baik itu disharmonisasi regulasi maupun kekaburan hukum yang memberikan kesan bahwa dalam keberlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengakomodir adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.


Pendekatan hukum berperspektif perempuan melalui feminist legal theory yang hadir sebagai respons atas temuan banyaknya instrumen hukum yang merugikan perempuan, secara khusus mendiskriminasi perempuan. Feminist legal theory juga menyadari bahwa sulit bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan di dalam hukum. Contohnya seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual harus menunjukkan bukti. Hal ini tentu tidak mudah bagi perempuan. Perjuangan untuk melakukan pembuktian kadang kala membutuhkan proses hukum yang begitu lama, tetapi hukuman yang diberikan pada pelaku hanya beberapa bulan. Tentu ini tidak memberikan keadilan bagi korban. Feminist legal theory dapat digunakan untuk menguji pasal-pasal yang dikenakan untuk menghukum perempuan. Ada dua tataran yang dikritisi oleh feminist legal theory yaitu tataran teks dan praktik.


Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis menyimpulkan Pertama, konstitusi secara implisit mengindakan paham feminisme dan menjamin hak perempuan namun masih terdapat pertentangan antara das sollen dan das sein serta pertentangan antar norma abstrak dan norma konkrit. Kedua, feminist legal theory dapat digunakan untuk menguji pasal-pasal yang dikenakan untuk menghukum perempuan. Ada dua tataran yang dikritisi oleh feminist legal theory yaitu tataran teks dan praktik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds., Oxford University Press, New York. Hlm. 221

[2] Saeroni, 2014, Feminist   Legal                 Theory:        Sebuah       Tinjauan       Singkat,       diakses pada https://lakilakibaru.or.id, tertanggal 26 September 2021

[3] Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 223

[4] Lihat pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

 

Komentar

pallmajacquart mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan populer dari blog ini

Matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah

Teruntuk Tidore Puisi Negeri Berjuta Adat,

Tujuan Hukum: Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan