Perlukah Penghidupan Kembali Pasal Penghinaan Presiden?


Catatan Kritis atas Penghidupan Kembali Pasal Penghinaan Presiden
Oleh: Nur Rizkiya Muhlas
  

Ada beberapa alasan mengapa pasal penghinaan presiden yang hendak dihidupkan perlu ditinjau kembali, yakni:

  1. Menegasikan Prinsip Equality before the law dan due proccess of law yang Berimplikasi pada Menurunnya Kualitas Demokrasi.
Pasal  19  DUHAM  Jo. ICCPR mendudukan  setiap  orang  berhak  atas  kebebasan  untuk  menyatakan  pendapat;  terlepas  dari  pembatasan- pembatasan secara  lisan,  tertulis,  atau  dalam  bentuk  cetakan. Inteprestasi resmi melalui general comment no 34 menyatakan negara menjamin Freedom of opinion; (3) Freedom of expression; (4) Freedom of expression and the media; (5) Right of Access to information.  Pun di dalam pasal 28 E jo 28 F UUD 1945 Jo pasal 14 jo pasal 15 UU No. 39/1999 telah mendudukan hal serupa. Penghidupan pasal penghinaan presiden sejatinya tidak berkesesuaian dengan aturan yang telah ada  juga melanggar prinsip due proccess of law. Ketika kita menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden maka hal ini akan berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi sebab sampai saat inipun belum ada kualifikasi pembeda yang jelas antara penghinaan dan juga kritikan, sehingga pasal ini merupakan pasal karet menimbulkan arbitrary enforcement yang oleh mahkamah konstitusi melalui ratio decidenci dalam putusannya nomor 013-022/PUU-IV/2006 hal. 60 menyatakan bahwa pasal 134, 136 bis, dan pasal 137 KUHP menimbulkan rechtsonzekerheid dan berpeluang menghambat hak juga kebebasan.  Ketentuan ini melanggar prinsip equality before the law, pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Presiden termasuk dalam warga negara sehingga apabila ada penghinaan atas dirinya maka presiden dapat melakukan pengaduan dengan mendalilkan pasal 310 dan 311 KUHP dan pasal 27 ayat (3) jo pasal 28 ayat (2)  UU No. 19/2016 yang sanksinya telah diakomodir melalui pasal 45 ayat (3) UU tersebut yang oleh MK melalui putusannya No.  50/PUU-VI/2008.: Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya  (klacht) untuk dapat dituntut. Sehingga tidak ada urgensitas nyata untuk menghidupkan kembali pasal ini, apabila tetap dipaksakan untuk diberlakukan kembali melalui the living constitution maka sejatinya hal ini melanggar prinsip lex certa & lex scripta yakni adanya duplikasi tindak pidana sehingga rentan didakwa dengan ketentuan berbeda yang pokok dakwaanya adalah sama. Yang mana hal ini akan mebawa kita pada pemikiran yang disampaikan oleh Herman Manhein bahwa final court is the most faithful mirror of civilization of the nation. Teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Lawrencre Friedman: structure, culture, dan substance artinya efektifitas penegakkan hukum tidak dilihat dari seberapa banyak aturan diproduksi. Meminjam pernyataan Barda Nawawi dalam bukunya Kapita Selekta hukum Pidana, bahwa terdapat beberapa tujuan pemidanaan salah satunya dalah kemanfatan yang dirasakan oleh kedua belah pihak, maka patut dipertanyakan kemanfaatan apa yang didapatkan oleh masyarakat apabila pasal penghinaan presiden diberlakukan? 

  1.  Tidak Relevan dengan Spirit Negara Republik dan Menjadikan Presiden Anti Kritik
Pasal 134 dan 136 KUHP yang diadopsi dari WvS adalah bukan penghinaan terhadap presiden melainkan penghinaan terhadap tahta kerajaan belanda. Maka jelaslah bahwa nafas dari pasal tersebut adalah untuk mempertahankan  tahkta kolonial Belanda di Indonesia. Sangat keteraluan apabila pasal-pasal tersebut kembali dihidupkan dan digunakan  untuk membungkam kebebasan warga negara dalam mengemukakan pendapat  untuk memenjarakan warga negara sendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Mardjono ahli hukum pidana yang menegaskan bahwa  dalam  suatu  negara  republik,  kepentingan  negara  tidak  dapat  dikaitkan  dengan  pribadi  presiden  atau  wakil presiden,  seperti  yang  berlaku  untuk  pribadi raja dalam suatu negara kerajaan. Ketentuan dalam RUU KUHP pada dasarnya sama dan sebangun dengan ketentuan Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP. Perbedaan mendasarnya justru ketiadaan frasa “dengan sengaja” yang awalnya ada dalam  Pasal  134  KUHP  namun  menghilang  dalam  Pasal  265  Rancangan  KUHP.  Ketiadaan  ini  justru membuat perumusan normanya menjadi jauh lebih buruk dari pada perumusan norma di KUHP. Yang senyatanya bertentangan dengan pasal 15 ICCPR Apabila kita kaitkan dengan teori maximin yang dikemukakan oleh Abraham Wald maka dalam membuat suatu kebijakan tanpa ada probabilitas hanya akan mencerminkan nilai yang minimum dari  maximum sehingga hanya berbuah pada hal yang sia-sia. Yang mana penghidupan kembali pasal penghinaan presiden, sejatinya merupakan kebijakan terburuk dalam pengambilan kebjiakan. UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression telah secara tegas menyatakan  bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah hukuman yang sah untuk penghinaan. Menurut  MK,  pasal  penghinaan  presiden  dapat  menjadi  hambatan  bagi kemungkinan  untuk  mengklarifikasi  apakah presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  7A  UUD  NRI  Tahun 1945 13   karena upaya-upaya  melakukan  klarifikasi  tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
Rekomendasi:
Etisnya, kritikan disertai dengan solusi agar dapat menjadi kritikan yang membangun bukan kritikan yang menjatuhkan. Penulis memberikan solusi berupa rekomendasi yakni dalam menangani  kasus  penghinaan  presiden  atau  wakil  presiden adalah dalam kapasitasnya sebagai pribadi bisa  mengajukan  tuntutan  hukum  terkait  penghinaan  yang  diatur  di  dalam  Pasal 310  sampai  dengan  Pasal  321  KUHP tentang  penghinaan  dan  Pasal  207  KUHP dalam  hal  penghinaan  ditujukan  kepada presiden  atau  wakil  presiden  selaku pejabat  (als  ambtsdrager).  Sedangkan apabila  media  yang  digunakan  adalah elektronik,  presiden  atau  wakil  presiden dalam  kapasitasnya  sebagai  pribadi  juga dapat  memperkarakan berdasarkan  Pasal 27  ayat  (3)  Undang-Undang  Nomor  19 Tahun  2016  tentang  Informasi  dan Transaksi Elektornik (UU ITE).
x
x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah

Teruntuk Tidore Puisi Negeri Berjuta Adat,

Tujuan Hukum: Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan