IUS CONSTITUENDUM: REFORMASI HUKUM INDONESIA
Perlukah Reformasi Hukum Indonesia?
Oleh: Nur Rizkiya Muhlas
Hukum
merupakan instrumen penting dalam
kehidupan bernegara. Seluruh penyelenggaran kebijakan negara selalu berdasarkan
hukum positif yang mengatur. Hal ini dikarenakan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang sifatnya
memaksa untuk mengatur dan melindungi
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keberadaan hukum merupakan suatu
hal yang mutlak bagi setiap negara, tidak terkecuali negara Indonesia. Secara
konstitusional, Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai negara yang
berdasar atas hukum, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945
yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sejatinya, negara yang
berdasar atas hukum adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, serta tidak ada kekuasaan yang bersifat
akuntabel. Sistem hukum Indonesia begitu dominan dengan penggunaan teori-teori
barat yang pada umumnya memberikan justifikasi terhadap model pembaruan hukum.
Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat Indonesia pernah dijajah oleh
kolonial selama 350 tahun.
Dewasa ini, isu reformasi hukum kerap menjadi agenda utama setiap rezim pemerintahan. Hal ini disebabkan kondisi hukum tanah air yang masih memerlukan terobosan-terobosan yang fundamental. Ditambah praktik penegakkan hukum yang terkesan carut-marut, sehingga penegakkan hukum di Indonesia terkesan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jika kembali menilik tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 yakni: “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” maka tujuan hukum yang sesungguhnya adalah tercapainya kesejahteraan dan keadilan yang bermartabat. Tujuan ini dapat tercapai jikalau hukum termasuk sistem hukum mampu untuk memanusiakan manusia (nguwongke uong). Sangat disayangkan, hal ini belum sepenuhnya terpenuhi sehingga perlu diadakan reformasi hukum melalui pendekatan perspektif teori keadilan bermartabat. Reformasi hukum, dimaksudkan untuk: (i) Memodernisasi hukum agar hukum selaras dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh negara; (ii) Menghilangkan berbagai macam kelemahan dalam hukum; (iii) Melakukan perumusan sehingga hukum menjadi mudah dipahami. Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa reformasi hukum adalah suatu dikte hukum yang dilakukan untuk membenahi hukum dan merefleksikan nilai-nilai yang dapat diterima dalam masyarakat. Teori keadilan bermartabat memiliki cakupan antara lain: filsafat hukum (philosophy of law), teori hukum (legal theory), dogmatik hukum (jurisprudence), hukum dan praktik hukum (law and legal practice). Keempat bagian tersebut saling melengkapi satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan.
Tata
cara mereformasi hukum menurut perspektif teori keadilan bermartabat dimulai
dari dikte hukum sebagai suatu masukan, dilanjutkan dengan proses legislasi dan
diskresi serta konversi, kemudian dikeluarkan dalam bentuk keputusan maupun
peraturan, setelah itu peraturan tersebut dilaksanakan. Indonesia
seharusnya memiliki suatu Komisi Pembaharuan Hukum Nasional yang bersifat
permanen untuk menjalankan semua proyek reformasi hukum dengan prinsip-prinsip
reformasi hukum yang institusional dengan tidak melenceng dari nilai-nilai yang
termaktub dalam Pancasila, sebab Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang ada di Indonesia. Tidak lazim
jika Indonesia hanya memiliki berbagai komisi seperti Komisi Hak Asasi Manusia,
Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan lain-lain, akan tetapi tidak
memiliki Komisi Pembaharuan Hukum Nasional.
Oleh
karena itu penulis menyarankan agar Indonesia segera membentuk Komisi
Pembaharuan Hukum Nasional yang nantinya akan mengurusi dan bertanggungjawab
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembaharuan hukum (reformasi hukum) di
Indonesia dengan tetap mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai pihak.
Komentar